detik35. Com
Di antara kabut pegunungan dan lebatnya hutan Sumatera bagian Selatan, beredar kisah turun-temurun tentang seorang manusia sakti. Ia tak memegang senjata. Ia tak memiliki pasukan. Tapi satu yang membuatnya ditakuti: lidahnya.
Namanya adalah Serunting Sakti, namun masyarakat mengenalnya dengan gelar menggetarkan: Si Pahit Lidah.
Konon, ia tidak seperti manusia biasa. Ia lahir dari perselisihan antara dua keluarga, saudara satu ibu yang bertikai karena perbedaan prinsip. Ia kemudian bertapa di dalam hutan belantara, bertahun-tahun menyatu dengan alam. Dari pertapaannya itulah, ia mendapat kekuatan: setiap ucapannya yang disertai murka, menjadi kutukan.
“Apa yang keluar dari mulutnya, menjadi nasib. Apa yang dikutuknya, berubah jadi batu.”
Namun kekuatan itu tidak digunakan sembarangan. Ia bukan makhluk pendendam, bukan pula pembunuh. Ia berjalan dari satu wilayah ke wilayah lain — dari Semende, Ogan Komering Ulu, Pagar Alam, hingga belantara Lampung — untuk mengadili manusia-manusia sombong yang lupa adat dan moral.
Suatu hari, saat matahari condong ke barat dan sinar keemasan membelah sungai, Si Pahit Lidah tiba di sebuah dusun kecil di tepian aliran Way Komering. Ia datang seperti biasa: berjalan kaki, tubuh kurus, pakaian lusuh penuh debu, tongkat kayu menuntunnya.
“Lihat orang tua itu! Cari makan atau cari kutukan?”
“Pakaian compang-camping, tapi gaya seperti pendeta hutan!”
“Hahaha... siapa dia sebenarnya?”
Si Pahit Lidah tidak langsung menegur. Ia hanya menatap mereka dengan mata dalam, dingin, dan sunyi. Hening sejenak. Lalu terdengarlah suaranya — datar tapi menusuk.
“Kalian menertawakan yang tak kalian kenal.
Kalian menghina bukan karena tahu, tapi karena sombong.
Maka biarlah kalian tertawa... untuk selamanya.”
Detik itu juga, bumi berguncang pelan. Angin berhenti berhembus.
Satu per satu tubuh mereka mengeras. Ada yang masih menatap ke depan. Ada yang tertawa terbahak. Ada yang bersimpuh. Semuanya — membatu.
Batu-batu berbentuk manusia itu tetap ada hingga kini. Masyarakat menyebutnya:
Batu Orang Tertawa
Batu Kutukan
Batu Duduk Menyesal
Batu Menoleh Ke Belakang
Mereka tersebar di hutan-hutan dan tepian sungai di Sumatera Selatan dan Lampung. Tak sedikit warga yang meyakini, jika diperhatikan baik-baik, wajah batu-batu itu seperti sedang tertawa — beku, membeku oleh kutukan yang tak bisa dihapus waktu.
Kata-kata adalah kekuatan. Dalam lisan tersimpan berkah, tapi juga bencana. Jangan gunakan untuk menghina.
Jangan menilai dari rupa. Si lemah bisa lebih sakti dari yang tampak. Kadang yang kau olok, justru yang menjaga alam semesta.
Adat dan etika adalah batas. Ketika manusia menginjak harga diri sesama, bencana hanya tinggal menunggu.
Kisah Si Pahit Lidah telah lama hidup dalam memori kolektif masyarakat Semende, Komering, Lematang, hingga Saibatin dan Pepadun di Lampung. Kisah ini sering diceritakan oleh para penutur tua, dan menjadi bagian dari identitas budaya yang menekankan pentingnya hormat, tutur kata, dan kesadaran diri dalam bermasyarakat. (Red)