Palembang – detik35.Com
Skandal korupsi yang menyeret nama mantan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnakertrans) Provinsi Sumatera Selatan, Deliar Marzoeki, kian mendekati babak akhir. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Palembang, Senin (23/6/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) Syaran Jafidzhan SH MH menuntut Deliar dengan pidana penjara 8 tahun dan ancaman tambahan 4 tahun jika tak mampu mengembalikan uang gratifikasi Rp1,3 miliar.
Deliar diduga menikmati aliran dana hasil gratifikasi dari proses perizinan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), saat dirinya masih menjabat. Praktik ini dinilai JPU sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang terang-terangan melanggar Pasal 12B ayat (1), (2) Jo Pasal 18 UU Tipikor.
“Sebagai pejabat publik, terdakwa seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendukung program pemberantasan korupsi, bukan justru menodainya,” tegas JPU Syaran dalam pembacaan tuntutan di hadapan majelis hakim yang diketuai Idi Il Amin SH MH.
Dalam sidang tersebut, JPU menegaskan sejumlah poin yang memperberat hukuman Deliar. Bukan hanya karena perbuatannya merugikan integritas birokrasi, tapi juga karena sikapnya yang dinilai tidak mendukung upaya pemerintah dalam memerangi korupsi.
Meski demikian, JPU mengakui ada hal yang meringankan. Sikap sopan terdakwa dan keterusterangan selama proses persidangan menjadi pertimbangan, meski tidak cukup untuk menghapuskan beratnya ancaman hukuman.
Perkara yang menjerat Deliar Marzoeki menjadi perhatian publik sejak awal. Deliar bahkan sempat absen dari salah satu sidang sebelumnya dengan alasan mengalami gangguan kesehatan berupa hernia. Namun, pada sidang penting ini, ia hadir dengan raut wajah tenang meski mendengar ancaman hukuman berat yang dibacakan di hadapannya.
Usai sidang, kuasa hukum Deliar menyatakan akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya yang dijadwalkan digelar sepekan mendatang. Tim pembela berjanji akan mengajukan argumentasi hukum yang dinilai cukup kuat untuk meringankan hukuman sang mantan pejabat.
Kasus ini kembali menjadi pengingat bahwa jabatan dan kekuasaan seringkali menjadi pintu masuk gratifikasi, dengan alasan klasik: kebutuhan, kesempatan, dan kelengahan pengawasan. Masyarakat kini menanti, apakah vonis hakim nantinya akan tegas dan mencerminkan keadilan, atau justru lunak dan mengecewakan publik? (Red)