Jakarta, detik35.Com
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia resmi membatasi cakupan penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam putusan yang dibacakan Selasa (28/4), MK menyatakan bahwa pasal penghinaan dan pencemaran nama baik tidak bisa digunakan untuk melindungi lembaga, institusi, jabatan, profesi, atau kelompok tertentu—hanya berlaku terhadap individu perorangan.
Putusan dengan nomor perkara 105/PUU-XXII/2024 ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, yang menyebut bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE harus dimaknai sebagai individu, bukan entitas atau kolektif. Dengan demikian, kritik terhadap kebijakan publik, lembaga pemerintah, maupun organisasi sosial tidak bisa dikriminalisasi dengan dalih pencemaran nama baik.
"Pasal tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menuntut seseorang yang menyampaikan kritik terhadap lembaga, karena lembaga bukan subjek hukum yang dilindungi oleh ketentuan tersebut," ujar Suhartoyo dalam pembacaan amar putusan.
Kritik Tak Lagi Bisa Dikriminalisasi
Putusan ini menjadi tonggak penting dalam demokrasi Indonesia karena menjawab kekhawatiran publik terhadap penyalahgunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE. Mahkamah menilai bahwa penerapan yang tidak tepat selama ini membuka ruang bagi represi terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
MK juga menegaskan bahwa dalam negara demokratis, hak untuk mengkritik pemerintah dan lembaga adalah bagian esensial dari partisipasi publik yang dijamin konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E dan Pasal 28F UUD 1945.
Respons atas Kasus Aktivis Lingkungan Karimunjawa
Putusan ini merupakan respons atas permohonan uji materi yang diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, seorang aktivis lingkungan yang sempat dijerat pasal pencemaran nama baik setelah mengunggah video kritik terhadap kerusakan lingkungan di Karimunjawa. Dalam kasusnya, Daniel dijatuhi hukuman oleh pengadilan tingkat pertama, namun kemudian dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi.
MK menyatakan bahwa pengalaman Daniel mencerminkan bahaya dari ketidakjelasan pasal, yang berpotensi disalahgunakan oleh institusi negara atau korporasi untuk membungkam suara kritis masyarakat.
"Putusan ini adalah bentuk koreksi sistemik atas penegakan hukum yang selama ini berpotensi mengekang ruang demokrasi," ujar salah satu kuasa hukum pemohon, yang menyambut baik keputusan Mahkamah.
Konsekuensi Hukum Pasca Putusan MK
Dengan keluarnya putusan ini, maka:
Lembaga pemerintah, institusi negara, jabatan publik, maupun korporasi tidak lagi bisa mengajukan laporan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE, kecuali jika menyangkut individu secara langsung.
Kritik terhadap kebijakan, pelayanan publik, atau penyimpangan oleh lembaga dilindungi oleh hukum sebagai bentuk partisipasi warga negara.
Aparat penegak hukum tidak dapat lagi memproses laporan penghinaan lembaga berdasarkan Pasal 27A UU ITE.
Putusan MK ini dianggap sebagai kemenangan penting bagi demokrasi digital dan kebebasan sipil, yang telah lama menjadi korban tafsir sempit atas UU ITE.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyambut baik langkah MK ini dan mendesak aparat penegak hukum untuk segera menyesuaikan prosedur dan kebijakan penyidikan sesuai dengan tafsir baru Mahkamah.(Redaksi)