Palembang, detik35.Com
Sebuah warung bakso sederhana di Jalan Sumpah Pemuda, Palembang, tak disangka menjadi titik awal terbongkarnya aroma korupsi dalam proyek pokok pikiran (pokir) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Persidangan di Pengadilan Negeri Palembang yang digelar Selasa (27/5), mengungkap bagaimana warung bernama “Bakso Cartel” itu menjadi lokasi pertemuan penting yang diselimuti aroma kolusi. Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan membeberkan secara gamblang skema pembagian fee proyek pokir yang menyeret tiga terdakwa: Ari Martha Redo, Apriansyah, dan Wisnu Andrio Fatra.
Dalam dakwaannya, JPU menjelaskan bahwa terdakwa Ari Martha Redo—yang berperan sebagai perantara—menginisiasi pertemuan dengan saksi Erwan Hadi di warung bakso tersebut. Hadir pula saksi Ipan Herdiansyah dan terdakwa Wisnu Andrio Fatra, Wakil Direktur CV HK yang merupakan pelaksana proyek.
Namun ini bukan pertemuan santai biasa. Di balik aroma kuah bakso, perbincangan yang terjadi justru menyangkut rencana penunjukan pelaksana proyek pokir serta penetapan jatah fee.
“20 persen, pecah pajak,” ujar Ari Martha Redo dalam pertemuan itu, sebagaimana dikutip dalam dakwaan JPU.
Ungkapan “pecah pajak” mengindikasikan skema pengaturan transaksi—dugaan kuat untuk menyamarkan aliran dana atau menyesuaikan angka agar jatah bersih yang diterima sesuai target. Praktik ini diduga kuat sebagai bagian dari upaya menghindari jejak audit dan pengawasan fiskal.
Dakwaan JPU juga menyebutkan bahwa empat paket proyek pokir ini berasal dari dana aspirasi seorang mantan pejabat tinggi legislatif di Sumsel: Anita Noeringhati, mantan Ketua DPRD Sumatera Selatan. Meski belum ditetapkan sebagai tersangka, nama Anita terseret dalam pusaran kasus ini sebagai pihak yang berkepentingan dalam penempatan anggaran pokir di Banyuasin.
Proyek-proyek tersebut dikerjakan oleh CV HK, dengan nilai kontrak yang belum diungkap ke publik secara rinci. Namun dari perhitungan persentase fee 20 persen yang disepakati, diduga nilai proyek mencapai miliaran rupiah.
Pengungkapan kasus ini memperlihatkan pola korupsi yang terstruktur dan sistematis, memanfaatkan mekanisme pokok pikiran—yang seharusnya menjadi jalur aspirasi publik—sebagai ladang bancakan elite dan perantara proyek. Skema pengaturan pelaksana proyek serta jatah fee yang disepakati dalam ruang informal seperti warung bakso hanya mempertegas bahwa korupsi tidak selalu terjadi di balik pintu kantor, tetapi bisa bermula dari meja makan yang tampak biasa.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Fauzi Isra, SH, MH ini membuka peluang bagi perluasan penyidikan. Munculnya nama tokoh politik besar mengisyaratkan bahwa lingkaran kasus ini tidak berhenti pada tiga terdakwa, melainkan bisa menjalar ke jajaran legislatif, ASN, maupun pihak swasta yang selama ini bermain di sektor konstruksi daerah.
Pihak Kejati Sumsel belum memberikan pernyataan resmi mengenai potensi penetapan tersangka baru, namun penyebutan nama Anita Noeringhati secara eksplisit dalam dakwaan menjadi sinyal kuat bahwa proses hukum bisa mengarah lebih jauh.(Redaksi)