Siapa yang Salah dan Siapa yang Disalahkan? Polemik Pelantikan Peratin Way Narta

 

Pesisir Barat – detik35. Com

Polemik kepemimpinan desa kembali mencuat di Kabupaten Pesisir Barat. Basri, Peratin (Kepala Desa) Way Narta, Kecamatan Pesisir Utara, menuai gelombang penolakan warga setelah kembali dilantik menduduki jabatan yang sama.


Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Basri sebelumnya pernah dinonaktifkan karena diduga terlibat perbuatan tidak senonoh dengan seorang staf di kantor desa. Peristiwa itu sempat mengguncang masyarakat Way Narta, bahkan menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat. Sanksi pemberhentian sementara kala itu disambut lega oleh warga.


Namun, setelah beberapa tahun berlalu, Basri kembali dilantik. Keputusan itu memicu kekecewaan masyarakat. Kantor desa disegel, dindingnya dipenuhi tulisan penolakan, dan protes warga masih terus berlanjut hingga kini.


Dalam situasi ini, pertanyaan publik pun menyeruak: siapa yang salah, dan siapa pula yang harus disalahkan?


Bagi masyarakat, Basri dianggap salah karena pernah mencoreng nama baik desa dengan dugaan pelanggaran moral. Mereka menilai, pemimpin desa seharusnya menjadi teladan, bukan sumber aib.


Di sisi lain, pemerintah daerah tak luput dari sorotan. Pemkab Pesisir Barat dinilai abai terhadap aspirasi warga karena tetap melantik Basri, meski gelombang penolakan sudah jelas terlihat. Keputusan itu menimbulkan kesan pemerintah lebih mementingkan formalitas jabatan ketimbang menjaga stabilitas sosial di tingkat desa.


Polemik ini akhirnya menempatkan masyarakat dalam posisi serba salah. Di satu sisi mereka menolak kepemimpinan Basri, di sisi lain pelayanan publik desa terhambat akibat penyegelan kantor.


Kasus Way Narta mencerminkan persoalan klasik tata kelola desa di Indonesia: lemahnya mekanisme pengawasan, belum optimalnya aturan tentang sanksi permanen bagi kepala desa bermasalah, serta minimnya ruang partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin yang dipercaya.


Kini, beban ada di pundak pemerintah daerah. Apakah akan bertahan dengan keputusan pelantikan, atau mencari jalan keluar melalui musyawarah yang lebih berpihak pada masyarakat? Yang jelas, kegaduhan Way Narta menjadi alarm bahwa legitimasi seorang pemimpin bukan hanya soal jabatan, melainkan juga soal kepercayaan rakyat.(Lukman)