Pembangunan Resor Mewah Ancam Warisan Dunia Gunung Sinai, Proyek Pariwisata Mesir Tuai Kontroversi
![]() |
Pembangunan Resor Mewah Ancam Warisan Dunia Gunung Sinai, Proyek Pariwisata Mesir Tuai Kontroversi |
JAKARTA - detik35.Com - Gunung Sinai, yang terletak di Semenanjung Sinai, Mesir, selama berabad-abad telah menjadi tujuan ziarah penting bagi umat Yahudi, Kristen, dan Muslim. Selain nilai religiusnya, kawasan ini juga merupakan pusat budaya tradisional suku Badui yang masih lestari hingga saat ini. Namun, warisan bersejarah Gunung Sinai kini menghadapi ancaman serius akibat proyek pembangunan resor mewah yang ambisius.
Pemerintah Mesir telah meluncurkan Great Transfiguration Project (GTP), sebuah program pariwisata berskala besar yang mencakup pembangunan lima hotel mewah, ratusan vila, pusat pengunjung seluas 1,4 hektar, serta kompleks perbelanjaan di dalam dan sekitar Protektorat St. Catherine. Proyek ini ditargetkan selesai pada tahun 2026 dan diklaim oleh pemerintah Mesir sebagai "hadiah untuk seluruh dunia dan semua agama."
Namun, rencana ambisius ini menuai kontroversi dan kekhawatiran dari berbagai pihak. John Grainger, mantan manajer proyek Uni Eropa untuk kawasan Sinai, bahkan menyebut proyek ini sebagai "Grand Disfiguration Project," mengindikasikan kekhawatiran akan rusaknya warisan budaya dan sejarah Gunung Sinai.
Gunung Sinai memiliki nilai historis dan religius yang sangat tinggi. Dalam Alkitab dan Al-Quran, Gunung Sinai disebut sebagai tempat Nabi Musa menerima Sepuluh Perintah Allah. Selain itu, kawasan ini juga menjadi rumah bagi Biara St. Catherine, salah satu biara Kristen tertua di dunia yang masih berfungsi sejak abad ke-6 dan telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2002.
Masyarakat lokal, terutama suku Badui Jebeleya yang selama berabad-abad menjaga biara dan kini bekerja sebagai pemandu wisata, merasa khawatir bahwa pembangunan ini akan merusak warisan sejarah dan budaya mereka. Beberapa laporan menyebutkan bahwa rumah dan kamp wisata milik suku Badui telah dihancurkan tanpa memberikan ganti rugi yang memadai. Bahkan, sebagian warga terpaksa memindahkan jenazah dari pemakaman untuk memberi ruang bagi pembangunan lahan parkir.
Ben Hoffler, seorang penulis perjalanan asal Inggris yang pernah bekerja dekat dengan suku Badui, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa resor baru akan lebih banyak mempekerjakan pekerja dari luar Sinai daripada masyarakat lokal. Ia juga menyoroti adanya tekanan dari aparat keamanan Mesir terhadap warga setempat yang berani menyuarakan penolakan terhadap proyek ini.
Penolakan terhadap proyek ini juga datang dari Yunani, yang memiliki ikatan kuat dengan Biara St. Catherine. Ketegangan sempat meningkat setelah pengadilan Mesir menyatakan bahwa biara berada di tanah negara, namun setelah serangkaian pertemuan diplomatik, Mesir dan Yunani akhirnya sepakat untuk melindungi identitas Ortodoks Yunani serta warisan budaya St. Catherine.
Proyek Great Transfiguration Project ini terus menjadi sorotan dan perdebatan, menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan pariwisata dan pelestarian warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai harganya.(Redaksi)