JAKARTA – detik35. Com
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, melontarkan kritik tajam terhadap Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam pernyataannya yang disampaikan di hadapan publik saat CNBC Investment Forum 2025 di Jakarta, Jumat (16/5/2025), Purbaya secara lugas menyebut IMF sebagai lembaga yang tidak layak dipercaya dalam hal proyeksi ekonomi.
“Menurut saya IMF bodoh, kalau enggak percaya lihat track record-nya,” tegas Purbaya. Ia menilai lembaga internasional itu berkali-kali keliru dalam meramalkan arah pertumbuhan ekonomi global maupun nasional, dengan kecenderungan proyeksi yang terlalu pesimistis.
Purbaya menyebutkan beberapa data untuk memperkuat argumennya. Pada 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global hanya sebesar 2,5%, padahal kenyataannya mencapai 4,5%. Sementara pada 2020, IMF memprediksi ekonomi global masih tumbuh 0,5%, namun kenyataannya justru anjlok menjadi -2,1%.
“Artinya IMF menganggap kita tidur. Jadi prediksi mereka terlalu pesimistik. Jangan percaya IMF, tanya saya saja,” sindirnya tajam.
Perekonomian Nasional Tunjukkan Pemulihan
Di forum yang sama, Purbaya juga menyampaikan optimisme terhadap kondisi perekonomian Indonesia yang mulai pulih secara bertahap. Indikator utama yang ia soroti adalah pertumbuhan base money (M0) yang sudah menyentuh angka 15%—sebuah lompatan signifikan dibanding beberapa bulan sebelumnya yang hanya tumbuh sekitar 5% atau bahkan negatif.
“Kalau pertumbuhan uangnya sudah 15%, itu berarti ekonomi mulai bergerak. Artinya sistem mulai terisi likuiditasnya,” jelasnya.
Pertumbuhan ini, menurut Purbaya, dipicu oleh mulainya pelaksanaan program-program pemerintah sejak Februari–Maret 2025 yang memicu peningkatan peredaran uang dan aktivitas ekonomi.
Bank Indonesia sendiri mencatat bahwa uang beredar dalam arti luas (M2) pada Maret 2025 tumbuh 6,2% secara tahunan menjadi Rp9.436,4 triliun. Kenaikan ini didorong pertumbuhan M1 sebesar 7,1% dan uang kuasi 3%.
Membandingkan Era SBY dan Jokowi: Pertumbuhan Infrastruktur vs Swasta
Menariknya, Purbaya juga menyinggung perbandingan kinerja ekonomi antara era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pemerintahan SBY lebih berhasil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun minim pembangunan infrastruktur.
“Pas zaman SBY, dia nggak banyak bangun infrastruktur tapi ekonominya tumbuh hampir 6%. Jokowi bangun infrastruktur besar-besaran, tapi pertumbuhannya cuma 5%,” papar Purbaya.
Ia menjelaskan bahwa perbedaan ini terjadi karena pendekatan kebijakan ekonomi yang berbeda. Di era SBY, pertumbuhan lebih didorong oleh sektor swasta yang aktif dan diberi ruang untuk ekspansi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan base money dan kredit yang mencapai dua digit.
Sebaliknya, di era Jokowi, M0 hanya tumbuh sekitar 10% dan kredit kepada swasta hanya naik sekitar 5%, yang menurut Purbaya, menyebabkan pelaku usaha kesulitan berkembang.
“Jadi anda [swasta] dicekek ekonominya. Kalau mesin ekonomi hanya satu yang jalan, pertumbuhan sulit optimal,” tandasnya.
Menuju Pertumbuhan 7–8 Persen
Meski demikian, Purbaya menyatakan bahwa saat ini pemerintah mulai berbenah dengan menyeimbangkan kebijakan fiskal dan moneter. Jika kebijakan ini terus konsisten dan sektor swasta kembali diberi ruang, ia optimistis pertumbuhan ekonomi nasional bisa melampaui 7% dalam waktu dekat.
“Asing keluar nggak usah takut. Kalau ekonomi kita kuat, asing pasti balik lagi. Mereka cari untung. Jadi selama fundamental kita bagus, fiskal dan moneter jalan, swasta dan pemerintah bareng, tumbuh 7–8 persen itu bukan mustahil,” pungkasnya.(Red)