Karimun, detik35.com
Di balik panorama elok Pulau Karimun Besar, Kepulauan Riau, berdiri megah sebuah gunung yang tak hanya menjadi titik tertinggi wilayah itu, tapi juga menyimpan sejarah, mitos, dan kepercayaan yang telah mengakar kuat di hati masyarakat Melayu: Gunung Jantan. Berdiri di ketinggian 439 meter di atas permukaan laut, gunung ini menjulang dari Desa Pongkar, Kecamatan Tebing, menjadi saksi bisu berbagai cerita yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Gunung Jantan bukan sekadar destinasi wisata pendakian. Ia adalah simbol kultural yang sarat makna. Di dalamnya, terpatri legenda tokoh legendaris Melayu bernama Badang, seorang pemuda berketurunan Siam yang konon memiliki kekuatan luar biasa. Cerita rakyat menyebut, Badang pernah bertarung hingga titik darah penghabisan di puncak Gunung Jantan demi melindungi tanahnya dari perompak. Sejak saat itu, muncul keyakinan bahwa siapa pun yang berkelahi di atas gunung ini, darahnya pasti akan tumpah.
Namun misteri tak berhenti di sana. Masyarakat lokal percaya bahwa Gunung Jantan dijaga oleh sosok gaib yang disebut Panglime Itam, tokoh mistis yang konon memiliki hubungan spiritual dengan Gunung Ledang di Johor, Malaysia, tempat istrinya bersemayam. Keduanya dipercaya menjaga “pintu gerbang spiritual” antara dua dunia—nyata dan gaib.
Salah satu cerita paling mencengangkan yang berkembang di sekitar gunung ini adalah keberadaan ikan Kertang tua—seekor ikan mistis yang tubuhnya ditumbuhi pepohonan dan dijadikan sarang burung walet penghasil sarang berkualitas tinggi. Legenda juga menyebut adanya harta karun seperti emas dan berlian yang tersembunyi di dalam perut Gunung Jantan. Namun, harta itu bukan untuk manusia tamak. Siapa pun yang mencoba mengambilnya diyakini akan mendapat celaka.
Gunung Jantan juga menjadi tempat uji nyali para pendaki. Jalur pendakian yang dimulai dari kawasan Air Terjun Pongkar menantang stamina dan keberanian. Meski hanya memakan waktu sekitar 90 menit, medan yang terjal, akar pohon yang meliar, serta cerita gaib yang menyelimuti membuat setiap langkah terasa penuh teka-teki. Namun, semua itu terbayar lunas saat tiba di puncak. Dari atas, hamparan Selat Malaka terbentang luas, dan pada hari cerah, bayangan Singapura dan Malaysia tampak jelas di kejauhan.
Sayangnya, di balik semua potensi alam dan nilai budaya itu, Gunung Jantan belum sepenuhnya mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Infrastruktur menuju lokasi masih terbatas, dan pelestarian budaya yang melekat pada gunung ini belum masuk prioritas dalam kebijakan pariwisata lokal. Padahal, perpaduan antara keindahan alam dan kekayaan cerita rakyat menjadikan Gunung Jantan sebagai destinasi yang unik dan berpotensi besar untuk wisata budaya dan spiritual.
Pemerhati budaya Melayu menilai, Gunung Jantan adalah bukti bahwa alam dan budaya tidak dapat dipisahkan. “Kita tidak sedang membicarakan sekadar pendakian, tapi bagaimana kita menjaga warisan yang dititipkan oleh leluhur. Jika tidak dihargai, maka bukan hanya hutan yang hilang, tapi juga jiwa dari tanah Melayu itu sendiri,” ujarnya.
Kini, Gunung Jantan berdiri sebagai penjaga diam, memanggil mereka yang cukup peka untuk mendengarkan bisikan sejarah dan kearifan lokal yang tersimpan di dalamnya. Bagi yang datang hanya untuk menaklukkan, ia mungkin sekadar batu dan tanah. Tapi bagi yang datang untuk memahami, Gunung Jantan adalah naskah hidup yang belum selesai ditulis.(Redaksi/Tim)