Polemik Debitur LPMUKP di OKU Timur: Dari Kontrak Notaris, Mediasi Zoom, Hingga Tuntutan Sikap Tegas
![]() |
Polemik Debitur LPMUKP di OKU Timur: Dari Kontrak Notaris, Mediasi Zoom, Hingga Tuntutan Sikap Tegas |
OKU TIMUR– detik35. Com - Program pembiayaan Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) Kementerian KKP kembali menjadi sorotan. Salah satu kasus mencuat di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan, melibatkan seorang debitur, sebut saja S, dengan koperasi mitra 3M. Persoalan ini membuka tabir persoalan tata kelola program dana bergulir yang semestinya membantu pelaku usaha perikanan.
S awalnya mendaftar sebagai calon penerima pembiayaan LPMUKP melalui koperasi 3M. Sebagai syarat administrasi, ia menyerahkan agunan dan akhirnya menandatangani kontrak di hadapan notaris. Namun, setelah proses berjalan, S merasa skema pembiayaan tidak sesuai dengan kondisi usahanya. Ia pun memutuskan untuk mundur sebelum dana plafon dicairkan.
Masalah muncul ketika agunan tetap ditahan, bahkan koperasi tetap menganggap S memiliki kewajiban. “Saya tidak jadi ambil pinjaman, tapi surat-surat agunan tidak dikembalikan. Saya merasa dirugikan,” kata S.
Merasa tak puas, S mendatangi langsung kantor pusat LPMUKP di Jakarta. Ia sempat bertemu pejabat LPMUKP, Ade, namun arahan yang diterima hanya menyarankan penyelesaian melalui mediasi daring (Zoom). Sayangnya, forum mediasi itu tidak menghasilkan kejelasan.
Dalam mediasi yang dipandu LPMUKP, pihak koperasi 3M tetap berpegang bahwa kontrak notaris mengikat secara hukum. Beberapa hari setelah Zoom, kedua pihak bertemu langsung di daerah. Pertemuan ini justru membuka polemik baru: koperasi menagih biaya BPNTB (biaya penanganan non teknis tertentu) dan biaya perikatan/profesi dengan nilai mencapai puluhan juta rupiah.
Debitur S menolak tegas membayar. “Saya tidak pernah menerima uang plafon. Kenapa harus bayar biaya ini? Rasanya tidak adil,” ujarnya.
Sebaliknya, koperasi bersikukuh bahwa kewajiban itu melekat sejak kontrak ditandatangani. “Kalau sudah tanda tangan, konsekuensinya harus diterima. Biaya itu adalah kewajiban debitur,” tegas pengurus koperasi.
Pakar hukum ekonomi menilai, persoalan ini berada di wilayah abu-abu. “Secara formil, kontrak di hadapan notaris memang sah dan mengikat. Tetapi dari sisi keadilan substantif, kalau dana tidak pernah dicairkan, maka wajar bila debitur menolak kewajiban. Di sinilah LPMUKP harus hadir, untuk memastikan asas keadilan ditegakkan,” ujar seorang akademisi hukum.
Menurutnya, ada tiga poin krusial:
1. Kontrak Notaris → sah secara hukum, tapi perlu dilihat apakah ada klausul pencairan sebagai syarat lahirnya kewajiban.
2. Kewajiban Biaya → harus diuji apakah relevan dibebankan pada debitur yang tidak menerima manfaat.
3. Tanggung Jawab LPMUKP → sebagai pemilik program, LPMUKP tidak bisa hanya menjadi fasilitator, tapi wajib memberi kepastian dan perlindungan hukum.
Kritik juga dialamatkan ke LPMUKP pusat. Alih-alih memberi solusi, lembaga ini dinilai justru lepas tangan. “Kalau hanya menyarankan mediasi Zoom lalu membiarkan hasilnya mengambang, itu sama saja tidak menyelesaikan masalah. Padahal ini program pemerintah,” kata seorang pengamat kebijakan publik.
Kasus ini menjadi cermin lemahnya tata kelola pembiayaan di sektor kelautan dan perikanan. Publik menuntut LPMUKP segera mengambil sikap: apakah agunan S dikembalikan, biaya tambahan dibatalkan, atau ada mekanisme lain yang adil bagi semua pihak.
“Jika tidak segera dibereskan, kasus ini bisa merusak kepercayaan masyarakat pada program pemerintah. Padahal tujuan awal LPMUKP adalah memberi akses permodalan mudah bagi nelayan, pembudidaya, dan pelaku usaha perikanan,” pungkas analis tersebut.(Red)