DI NEGERI ini, korupsi bukan lagi sekadar kejahatan luar biasa. Ia telah menjadi wajah banal dari kekuasaan yang biasa. Di balik rapat-rapat mewah dan pidato moral para pejabat, praktik korupsi justru berlangsung sistemik, terang-terangan, dan tanpa rasa malu.
Selama puluhan tahun, bangsa ini memerangi korupsi dengan pendekatan legalistik: membuat undang-undang, mendirikan lembaga, hingga membangun lebih banyak penjara. Tapi, apakah semua itu cukup? Kita terus menyaksikan ironi demi ironi—uang hasil korupsi yang disita bisa menggunung seperti tumpukan kertas, sebagaimana terlihat dalam konferensi pers Kejaksaan Agung. Uang tunai dalam jumlah luar biasa itu, yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, justru ditemukan dalam kasus pencucian uang dan tindak pidana korupsi besar-besaran.
Yang membuat miris, korupsi hari ini tak lagi dilakukan diam-diam. Ia dilakukan di atas meja kekuasaan, kadang bahkan dengan simbol-simbol resmi negara. Ia tidak hanya merampas uang negara, tapi juga merampok masa depan generasi yang akan datang.
Korupsi bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi juga soal kerusakan moral. Sistem pendidikan kita belum mampu membentuk karakter antikorupsi, sementara keteladanan dari pemimpin semakin langka. Hukuman yang ringan, negosiasi politik dalam penegakan hukum, dan impunitas para elite membuat publik apatis.
Solusi? Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan hukum semata. Perlu perubahan budaya, reformasi total birokrasi, dan keberanian politik yang tulus. Pendidikan karakter harus dimulai sejak dini. Dan rakyat harus terus bersuara—karena diam adalah bentuk pembiaran.
Jika uang sebanyak itu bisa dikorupsi oleh segelintir orang, maka bayangkan berapa banyak hak rakyat yang lenyap setiap harinya. Korupsi bukan hanya persoalan teknis, ini soal keberanian memilih: kita ingin jadi bangsa besar atau terus jadi penonton dari kehancuran yang kita biarkan sendiri.(Red)