-->

Notification

×

Iklan

 


Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Marwah Jurnalis Diuji: Antara Korban Kriminalisasi dan Oknum yang Menodai Profesi

| June 16, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-16T11:04:37Z

Miris dan menyayat hati. Profesi jurnalis kembali diuji oleh dua ujung kenyataan: menjadi korban kekerasan brutal saat menjalankan tugas, sekaligus menjadi sorotan tajam karena ulah oknum-oknum yang mencoreng nama profesi. Dua sisi yang saling bertolak belakang namun sama-sama menghancurkan marwah pers sebagai pilar keempat demokrasi.


Kita tidak bisa menutup mata. Kekerasan terhadap jurnalis kian meningkat dan makin membahayakan. Di berbagai daerah, wartawan menjadi korban kriminalisasi, intimidasi, bahkan pembunuhan keji. Sebut saja kasus tragis Juwita (23), jurnalis muda di Banjarbaru yang meregang nyawa dalam tugas, serta pembunuhan sadis terhadap Rico Sempurna Pasaribu beserta keluarganya di Tanah Karo, Sumatera Utara, pada 27 Juni 2024. Dunia pers berduka. Hati nurani publik terguncang.


Baru-baru ini, kasus serupa kembali terjadi. Empat jurnalis dianiaya saat meliput aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Lubuk Toman, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Ironisnya, setelah pelaku penganiayaan bernama Roni Paslah ditetapkan sebagai tersangka, ratusan orang mendatangi Mapolres Ketapang menuntut pembebasannya. Tak hanya itu, mereka bahkan menuding adanya pungli yang dilakukan oleh oknum wartawan.


Peristiwa tersebut menggambarkan kompleksitas persoalan dunia jurnalistik saat ini. Di satu sisi, jurnalis adalah korban. Di sisi lain, muncul juga indikasi bahwa ada oknum yang menjual profesi untuk kepentingan pribadi, mencemarkan martabat jurnalisme dengan praktik yang tidak etis.


Hal inilah yang membuat kepercayaan publik terhadap insan pers terkikis. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak jurnalis yang tidak memiliki kompetensi memadai, minim pengetahuan tentang kaidah jurnalistik, dan abai terhadap kode etik. Tak sedikit yang mengatasnamakan media untuk melakukan tekanan, pemerasan, bahkan pungutan liar berkedok peliputan.


Kita, insan pers, harus berani bercermin. Sudah saatnya perusahaan media lebih selektif dalam merekrut wartawan. Kompetensi, pemahaman etika, dan integritas harus menjadi syarat utama. Tak cukup hanya membawa ID card atau mengenakan rompi bertuliskan “Pers” untuk bisa disebut jurnalis. Dibutuhkan pembekalan berkelanjutan dan uji kompetensi yang terstandar.


Media harus kembali pada jati dirinya: sebagai penyampai kebenaran, pengawas kekuasaan, dan jembatan informasi publik. Profesi ini mulia, dan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tapi dengan perlindungan itu juga datang tanggung jawab besar: menjaga integritas, melawan hoaks, dan tidak menjadi alat tekanan atau pemerasan.


Pers adalah cahaya di tengah gelapnya penyalahgunaan kekuasaan. Tapi bila cahayanya diredupkan oleh ulah oknum dari dalam sendiri, maka kegelapan itu justru akan menyelimuti profesi ini secara menyeluruh.


Saatnya kita berdiri di garis yang benar. Mengutuk keras kekerasan terhadap jurnalis, sekaligus berani membersihkan barisan dari para penyusup yang merusak nama baik pers.


Karena menjadi jurnalis bukan hanya sekadar profesi. Ia adalah panggilan nurani, amanah publik, dan penjaga demokrasi.


Penulis: Syamsul Arifin, S.Sos

Pemimpin Redaksi detik35.com 

×
Berita Terbaru Update