JAKARTA –detik35.Com
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, kembali menjadi suara lantang dalam isu lingkungan. Kali ini, ia menyoroti aktivitas pertambangan nikel di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya—wilayah yang selama ini dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia.
Dalam sebuah video pendek yang viral di media sosial X (sebelumnya Twitter), Susi menyampaikan kekhawatirannya terkait kerusakan lingkungan akibat tambang di Raja Ampat. Ia menyebut bahwa publik tidak akan mengetahui skala kerusakan ini jika tidak ada suara-suara dari akar rumput di Papua.
“Kalau gak gara-gara orang teriak di Papua, kita gak akan tahu bahwa Raja Ampat sedang dikerok untuk pertambangan nikel,” kata Susi dalam video tersebut.
Susi tidak hanya menyasar praktik pertambangan ilegal, tetapi juga menyindir keras proses perizinan resmi yang justru dikeluarkan oleh berbagai level pemerintahan, mulai dari bupati, gubernur, hingga kementerian. Menurutnya, perusakan lingkungan ini bukan hanya akibat pembiaran, tetapi juga bagian dari skema yang dilegalkan.
“Kalau tambang itu gak ada surat izin bisa langsung diciduk, tapi ini surat izinnya keluar dari sekelas bupati, gubernur, hingga menteri terkait. Kok bisa di-ACC gitu loh,” imbuhnya dengan nada geram.
Lebih jauh, Susi mempertanyakan arah kebijakan negara yang menurutnya gagal menempatkan kekayaan alam sebagai identitas nasional. Ia mengajak masyarakat berpikir ulang tentang apa yang sebenarnya bisa dibanggakan dari Indonesia di mata dunia.
“Apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia ketika ketemu turis di luar negeri? Makanannya dan alamnya, kan? Sisanya apa? Pemerintahannya? Fasilitasnya? Jalannya? Enggak, kan!”
Selain Raja Ampat, Susi juga mengkritik pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan yang menurutnya mengorbankan fungsi ekologis kawasan tersebut sebagai paru-paru dunia. Ia menyoroti dampak pembukaan lahan terhadap satwa liar seperti orangutan, serta praktik pembakaran hutan demi pembangunan infrastruktur.
“Kemarin kelas IKN itu paru-paru dunia di Kalimantan dijadikan pemerintahan pusat? Banyak lahannya dibakar di sana, orangutan keluar untuk pembangunannya.”
Pernyataan ini langsung menuai respons luas di media sosial dan dari kalangan aktivis lingkungan. Banyak pihak menilai bahwa suara Susi memperkuat kritik terhadap proyek-proyek ekstraktif di kawasan konservasi yang selama ini tertutup dari sorotan publik.
Saat ini, tekanan publik terhadap pemerintah agar meninjau ulang izin-izin tambang di wilayah sensitif ekologis seperti Raja Ampat semakin menguat. Transparansi perizinan, audit lingkungan independen, hingga moratorium tambang di kawasan konservasi menjadi desakan yang tak bisa lagi diabaikan.(Red)